Selasa, 21 Juli 2009

KEPEMIMPINAN SEJATI

MOUNT EVEREST adalah puncak dunia, 8.848 meter DPL. Tenzing Norgay adalah seorang Sherpa (pe­man­du) yang paling akrab dengan Himalaya. Semua pen­daki besar dunia mengakui, bahwa orang yang pa­ling layak menjadi orang pertama yang mencapai pun­cak dunia adalah Tenzing Norgay. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30 Sejarah mencatat Tenzing Nor­gay sebagai orang kedua yang menaklukan pun­­cak dunia setelah Edmund Hillary.

Sebuah pres­tasi ini menghantarkan Edmun Hillary men­da­pat­kan gelar Kebangsawanan dari Ratu Inggris. Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Ten­zing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, ham­pir semua reporter dunia berebut me­wa­wan­ca­rai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu repor­ter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cu­pli­kannya:


Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan ke­berhasilan menaklukkan puncak gunung ter­ting­gi di dunia?

Tenzing Norgay : Senang sekali

Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) ba­gi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang men­ja­di orang pertama yang menjejakkan kaki di pun­cak Mount Everest ?

Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat ting­gal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil me­naklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia.

Reporter : Mengapa Anda lakukan itu?

Tenzing Norgay: "Karena itulah IMPIAN Edmund Hil­lary, bukan impian saya. Impian saya hanyalah ber­hasil membantu dan mengantarkan dia meraih IMPIAN nya".

***

Cerita ini mengingatkan saya pada istilah ke­pe­mim­pin­an sejati, dimana kepemimpinan sesung­guh­nya tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan se­seorang melainkan suatu hasrat yang muncul dari da­lam diri untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sen­diri, keluarga, pekerjaannya, maupun lingkungan so­sial bahkan mungkin memimpin Negara. Ke­pe­mim­pin­an lahir dari suatu proses yang panjang ke­tika seseorang menemukan misi dan visi hidupnya, ke­beradaannya memberikan pengaruh positif ke­pa­da orang lain, mampu mendorong sebuah per­ubah­an dalam organisasi, dan mempunyai rasa ber­tang­gungjawab atas apa saja yang sedang dipim­pin­nya, maka pada saat itulah lahirlah seorang pe­mim­pin sejati.

Ada cerita dari filsuf besar Cina, bernama Lao Tsu ketika ia ditanya oleh muridnya tentang siapa­kah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab: "Se­ba­gai seorang pemimpin yang baik, orang tidak mem­perhatikan eksistensi mereka. Selanjutnya pe­mim­pin yang baik adalah orang terhormat dan ter­puji. Selanjutnya pemimpin yang baik adalah orang yang adil. Selanjutnya ketika orang membencinya saat pemimpin menyelesaikan suatu pekerjaan ma­ka mereka pun berkata bahwa merekalah yang telah me­nyelesaikan tugas itu."

Seringkali seorang pemimpin sejati tidak di­ke­ta­hui keberadaannya oleh mereka yang di­pim­pin­nya di­mana seorang pemimpin telah me­nye­le­sai­kan tu­­gas­nya, maka seluruh anggota pun akan me­nga­ta­kan bahwa mereka sendirilah yang telah me­nye­lesaikan tanggungjawab itu. Mereka adalah orang­-orang yang telah memberikan motivasi se­hing­ga kita se­mua tergerak dengan suka rela men­ca­pai tujuan ber­sama. Mereka adalah inspirator yang telah mem­berikan inspirasi, menciptakan ide atau gagasan se­hingga orang lain mampu me­la­ku­kan perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka ada­lah maximizer di­mana perannya akan sangat mem­ban­tu organisasi men­capai usaha dan hasil yang mak­simal.

Semakin banyak sumbangsih seorang pe­mim­pin sejati, maka ia semakin bisa bersikap rendah hati. Li­hatlah, cerita di atas seorang bernama Tenzing Nor­gay yang rela untuk menjadi orang nomer dua yang telah menginjakkan kaki di puncak Mount Eve­rest, karena ia tahu impian besar Edmund Hillary ada­lah menjadi orang pertama yang menginjakkan ka­ki di di puncak Mount Everest. Orang seperti Ten­zing Norgay inilah seorang yang mempunyai jiwa ke­pemimpinan sejati, ia telah membantu Edmund Hil­lary dalam mencapai impiannya.

Ketika orang-orang bertanya, kenapa dia mem­be­ri kesempatan Edmund Hillary untuk menjadi orang pertama? Dengan rendah hati dia menjawab: "Ji­ka saya malu menjadi orang kedua di puncak gu­nung Everest, maka saya akan hidup dengan rasa ma­lu itu."

Salah satu pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati lainnya dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pe­mim­pin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya da­ri negara yang rasialis, menjadi negara yang de­mo­kratis dan merdeka. Dalam sebuah acara talk show TV yang dipandu oleh presenter terkenal Oprah Winfrey, bagaimana Nelson Mandela men­ce­ri­ta­kan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam pen­jara pemerintah Apartheid, justru melahirkan per­ubahan dalam dirinya. Dia mengalami peru­bah­an karakter dan memperoleh kedamaian dalam di­ri­nya sehingga dia menjadi manusia yang rendah ha­ti dan mau memaafkan mereka yang telah mem­buat­nya menderita selama bertahun-tahun.

Hal ini membuktikan bahwa tanpa perubahan da­ri dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan ha­ti, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan meng­hadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah men­ja­di pemimpin sejati. Maka seorang pemimpin sejati ha­­rus mempunyai karakter yang kuat dalam men­dukung perubahan baik dari dalam dirinya mau­­pun bagi yang dipimpinnya.

Lalu bagaimana karakter seorang pemimpin se­ja­ti? Ada sebuah tulisan yang mengatakan bahwa ke­­pe­mimpinan sejati terletak pada huruf Q yaitu Q Lea­der.

Pertama : Q disebut juga kecerdasan seperti da­lam IQ, EQ, dan SQ.

Kedua : Q yang berarti Quality yai­tu ke­pe­mim­pin­an yang memiliki kualitas dalam ma­na­­je­rial maupun mampu membangun as­pek-as­pek visioner.

Ketiga : Q yang dibaca "chi" dalam bahasa Manda­rin berarti energi kehidupan di­ma­na seorang pemimpin mampu me­la­ku­kan self management. Artinya seorang pe­mimpin sejati selalu berorientasi pada b­e­lajar dan tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai tingkatan intelektual yang lebih baik, mengelola emosi de­ngan lebih baik, dan berusaha me­wu­jud­kan nilai-nilai spiritual yang lebih baik pu­la, dimana upaya itu ditujukan untuk men­capai misi dan visi organisasi mau­pun kehidupan pribadinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar